JAKARTA - Indonesia menghadapi risiko tenggelam lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Bukan hanya karena perubahan iklim, tetapi juga disebabkan oleh faktor tektonik dan masalah infrastruktur yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu.
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menjelaskan dalam acara Insight with Desi Anwar di CNN Indonesia, Minggu 5 Oktober, bahwa beberapa wilayah Indonesia mengalami penurunan daratan secara alami akibat aktivitas tektonik.
“Indonesia lebih parah karena tenggelamnya tidak hanya karena kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Secara tektonik, ini pulaunya itu semakin turun,” ujar Dwikorita.
Ia menambahkan, laju penurunan daratan ditambah kenaikan permukaan air laut bisa mencapai lebih dari 4 sentimeter per tahun, yang membuat risiko tenggelamnya wilayah pesisir semakin nyata.
Dampak Infrastruktur Tua dan Tata Kelola Lahan
Selain faktor alam, kondisi infrastruktur yang sudah ada sejak dekade 1950–1960 juga memperparah risiko. Banyak bendungan dan sistem tata kelola air dirancang tanpa mempertimbangkan variabel perubahan iklim. Akibatnya, potensi banjir, tanah longsor, dan kerusakan infrastruktur semakin meningkat.
Dwikorita menekankan perlunya adaptasi dan mitigasi secara serius. Adaptasi harus mencakup penataan ulang tata kelola lahan dan sumber daya air, sementara mitigasi memerlukan gotong royong dari berbagai pihak, mulai pemerintah pusat, daerah, hingga masyarakat.
“Karena tata kelola air ini juga terkait swasembada pangan, ketahanan energi, ketahanan air, semestinya harus sains based. Sains based policy itu harus kuat,” jelas Dwikorita. Menurutnya, kebijakan berbasis sains akan membantu mencegah bencana sekaligus memastikan ketahanan pangan, energi, dan air di masa depan.
Riset Internasional Sebut Indonesia Termasuk Negara Paling Berisiko
Ancaman tenggelamnya wilayah pesisir Indonesia tidak hanya dikonfirmasi BMKG. Sebuah riset yang diterbitkan oleh Nature Communications pada 29 Oktober 2019 memprediksi sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, akan menghadapi kenaikan permukaan laut antara 30–50 sentimeter pada tahun 2050.
Riset tersebut mencatat lebih dari 150 juta orang tinggal di wilayah dengan ketinggian di bawah permukaan laut, termasuk Jakarta yang menjadi salah satu kota paling rentan.
Selain Indonesia, negara lain yang masuk daftar ancaman tenggelam adalah China (Pearl River Delta), Bangladesh, Thailand, Vietnam, Filipina, India, dan Jepang.
“Lebih dari 70 persen dari jumlah orang di seluruh dunia yang saat ini hidup di tanah yang terlibat berada di delapan negara Asia tersebut,” tulis laporan itu. Hal ini menunjukkan bahwa masalah tenggelamnya wilayah pesisir tidak bisa diabaikan, karena dampaknya tidak hanya lokal tetapi juga berdampak regional.
Kebijakan yang Dibutuhkan: Adaptasi dan Mitigasi Terpadu
Menurut BMKG, respons terhadap risiko ini harus mencakup dua pendekatan: adaptasi dan mitigasi. Adaptasi meliputi pengelolaan tata kota, pembangunan infrastruktur tahan iklim, serta penataan kembali wilayah pesisir yang rawan banjir.
Sementara mitigasi melibatkan kerja sama multi-pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat.
Dwikorita menekankan pentingnya kebijakan berbasis sains, yang tidak hanya fokus pada pencegahan bencana, tetapi juga pada ketahanan nasional. Misalnya, pengelolaan sumber daya air yang baik akan berdampak pada ketahanan pangan dan energi.
Jika diterapkan dengan tepat, langkah ini dapat membantu Indonesia mengurangi dampak perubahan iklim dan penurunan daratan secara tektonik.
Tantangan dan Kesiapan Indonesia
Meskipun risiko ini nyata, Indonesia masih memiliki peluang untuk menyiapkan strategi adaptasi jangka panjang. Infrastruktur yang sudah ada harus dievaluasi ulang, dan proyek-proyek baru perlu memperhitungkan perubahan iklim.
Selain itu, masyarakat juga harus dilibatkan dalam mitigasi, misalnya melalui edukasi tentang bahaya banjir dan penanaman vegetasi penahan erosi.
Dwikorita menekankan, “Potensi banjir dan tanah longsor tetap mungkin terjadi meskipun sudah dikelola dengan baik. Hal ini karena banyak infrastruktur dibangun sebelum isu perubahan iklim diperhitungkan.”
Dengan demikian, strategi mitigasi harus mencakup pemantauan berkelanjutan, modernisasi infrastruktur, dan perencanaan wilayah berbasis sains. Prediksi tenggelamnya wilayah pesisir Indonesia bukan hanya soal perubahan iklim, tetapi juga aktivitas tektonik dan kelemahan infrastruktur lama.
Laju penurunan daratan hingga 4 sentimeter per tahun, ditambah kenaikan muka air laut, menempatkan kota-kota seperti Jakarta dan wilayah pesisir lain pada risiko tinggi.
BMKG menekankan perlunya pendekatan terpadu antara adaptasi dan mitigasi, dengan kebijakan berbasis sains yang kuat. Jika dikelola dengan tepat, Indonesia masih bisa meminimalkan dampak bencana, menjaga ketahanan pangan, energi, dan air, serta mempersiapkan masyarakat menghadapi tantangan di masa depan.
Prediksi ini menjadi peringatan penting bagi semua pihak: perubahan iklim dan faktor alam tidak bisa diabaikan, dan kesiapan infrastruktur serta tata kelola sumber daya menjadi kunci untuk menghadapi ancaman tenggelamnya wilayah pesisir Indonesia.