Politik

DPR Pertimbangkan Batas Atas Syarat Pencalonan Presiden dalam RUU Politik adalah Mencegah Calon Tunggal dan Dominasi Politik

DPR Pertimbangkan Batas Atas Syarat Pencalonan Presiden dalam RUU Politik adalah Mencegah Calon Tunggal dan Dominasi Politik
DPR Pertimbangkan Batas Atas Syarat Pencalonan Presiden dalam RUU Politik adalah Mencegah Calon Tunggal dan Dominasi Politik

JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuka opsi untuk menerapkan batas atas dalam syarat pencalonan presiden melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Politik. Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapuskan ambang batas minimal 20 persen yang sebelumnya berlaku dalam pemilihan presiden (pilpres).

Wacana ini menjadi sorotan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar oleh Komisi II DPR. Pertemuan tersebut menjadi ajang diskusi tentang omnibus law atau kodifikasi RUU Politik bersama sejumlah pakar dan organisasi pemerhati pemilu.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, yang kerap disapa Bima, menyoroti pentingnya ambang batas maksimal pencalonan presiden untuk mencegah munculnya calon tunggal dalam pilpres. Menurutnya, fenomena calon tunggal dapat terbentuk bukan secara alami, melainkan hasil dari intervensi atau tekanan politik tertentu.

"Mempertimbangkan batas atas, tidak hanya batas bawah, sangat diperlukan agar tidak terjadi calon tunggal yang bisa merugikan proses demokrasi kita," ujar Bima di kompleks parlemen.

Bima menambahkan bahwa ada risiko kekuatan politik tertentu dapat mengonsolidasikan semua partai politik sehingga menghasilkan calon tunggal dalam pilpres. Oleh karena itu, memperkenalkan batas maksimal diperlukan untuk memastikan keberagaman calon tetap terjaga.

"Jika kita tidak menetapkan batas atas, sangat mungkin sebuah partai atau individu mengonsolidasikan seluruh kekuatan politik dan menciptakan calon tunggal atau hanya dua calon saja, yang pada akhirnya akan menutup alternatif calon lainnya," jelas Bima.

Bima juga menyebutkan bahwa dirinya tidak menentang koalisi besar partai dalam pencalonan presiden selama terbentuk secara organik dan berdasarkan visi bersama. Namun, menurutnya, koalisi besar selama ini seringkali dibentuk dengan tujuan untuk menjegal calon lain, sehingga merusak beberapa nilai demokrasi.

"Selama calon tunggal itu terbentuk secara organik, tidak masalah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa koalisi besar ini seringkali bersifat konspiratif dan melemahkan beberapa nilai demokrasi," katanya.

Sementara itu, pemerhati pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, juga mendukung gagasan ambang batas maksimal. Ia mengusulkan agar batas maksimal untuk gabungan kursi atau suara partai politik dalam pencalonan presiden berada pada kisaran 40 hingga 50 persen.

Menurut Titi, ambang batas maksimal ini penting untuk mencegah dominasi calon atau partai tertentu dalam pilpres. "Usulan ambang batas maksimal gabungan partai dalam pencalonan presiden dan kepala daerah, yaitu koalisi pencalonan maksimal 40 atau 50 persen, sangat penting untuk mencegah dominasi kekuatan politik tertentu dan juga terjadinya calon tunggal," ujar Titi.

Titi juga menekankan bahwa ambang batas maksimal sebaiknya diberlakukan tidak hanya untuk pilpres, tetapi juga dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal ini muncul sebagai respons terhadap keputusan MK yang telah menghapus ambang batas untuk presiden dan pilkada.

MK telah memutuskan untuk mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui putusan Nomor 60.PUU.XXII.2024. Dalam putusan tersebut, MK menetapkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang mendapatkan suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tertentu dapat mencalonkan kepala daerah.

Namun, untuk pilpres, MK menghapus ambang batas 20 persen yang berlaku sebelumnya, dengan mendorong rekayasa konstitusional guna menghindari banyaknya jumlah calon presiden. "Pemberlakuan ambang batas maksimal untuk koalisi pencalonan 40 atau 50 persen gabungan partai dari total jumlah peserta pemilu dapat mencegah calon tunggal dan hegemoni dominasi politik tertentu," pungkas Titi.

Dengan munculnya wacana ini, DPR tampaknya serius mengkaji ulang sistem pencalonan presiden agar lebih inklusif dan adil, sekaligus untuk memastikan keberagaman pilihan bagi rakyat dalam pemilihan umum yang akan datang. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat demokrasi di Indonesia dan mencegah praktik politik yang tidak sehat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index