Sri Mulyani Diminta Dengarkan Suara Pengusaha Soal Pajak

Kamis, 03 Juli 2025 | 14:07:02 WIB
Sri Mulyani Diminta Dengarkan Suara Pengusaha Soal Pajak

JAKARTA - Langkah pemerintah untuk mengenakan pajak pada toko daring atau e-commerce kembali menjadi sorotan. Belum rampungnya aturan baru yang sedang difinalisasi membuat para pemangku kepentingan, termasuk DPR RI, meminta agar proses perumusan kebijakan melibatkan dialog intensif dengan pelaku usaha. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun secara tegas mendorong Menteri Keuangan Sri Mulyani agar merangkul asosiasi dan pelaku e-commerce sebelum aturan tersebut disahkan.

Misbakhun menilai bahwa pendekatan kolaboratif sangat penting demi menciptakan regulasi yang adil dan tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat maupun para pedagang digital. Ia menegaskan bahwa pemerintah sebaiknya tidak berjalan sendiri dalam menyusun kebijakan yang menyangkut hajat hidup pelaku usaha dan konsumen digital. "Kalau mengenai pajak e-commerce itu pemerintah harus duduk bersama dengan dunia usahanya. Seperti apa sih yang diinginkan?" kata Misbakhun saat ditemui di Kompleks Parlemen.

Menurutnya, walau negara membutuhkan pajak untuk membiayai pembangunan dan kebutuhan masyarakat, mekanisme penerapannya tetap harus mempertimbangkan prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi. "Karena bagaimanapun juga pemerintah butuh uang untuk bisa mendapatkan pemasukan dari pajak. Tidak boleh kemudian ada aktivitas bisnis, aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki. Baik itu melalui mekanisme online maupun secara offline," lanjutnya.

Pentingnya pengawasan terhadap keadilan sistem perpajakan, menurut Misbakhun, terletak pada kesetaraan beban yang ditanggung baik oleh pelaku usaha offline maupun online. Ia mengingatkan bahwa prinsip membayar pajak sudah menjadi kewajiban umum yang selama ini berlaku, seperti pada setiap transaksi pembelian barang yang dikenakan PPN sebesar 11 persen, atau 12 persen jika termasuk barang mewah. "Begitu Anda membeli sesuatu ada kewajiban untuk membayar PPN 11 persen. Kalau itu barang mewah Anda membayar 12 persen. Nah, mekanismenya itu mau online, mekanismenya itu mau offline, silakan diikuti aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah," jelas Misbakhun.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa penerimaan pajak sangat vital untuk mendukung sektor-sektor strategis nasional seperti pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Oleh karena itu, regulasi yang menyangkut potensi penerimaan besar seperti e-commerce perlu disusun secara hati-hati dan inklusif.

Namun saat ditanya apakah DPR sudah berkoordinasi langsung dengan Menteri Keuangan terkait hal ini, Misbakhun menyebut belum ada pertemuan resmi antara Komisi XI DPR dan Sri Mulyani untuk membahas aturan pajak e-commerce tersebut. "Kalau ditanya duduk barengnya, belum. Karena itu mengenai pengaturan-pengaturan administrasi itu kewenangan penuh pemerintah,” tegasnya.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyelesaikan penyusunan aturan baru yang akan mewajibkan platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, Lazada, Blibli, hingga Bukalapak untuk memotong pajak dari pendapatan penjual. Aturan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan sekaligus menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha digital dan konvensional.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menyampaikan bahwa regulasi tersebut masih dalam tahap penyusunan dan akan diumumkan secara terbuka kepada publik setelah rampung. “Prinsip utamanya adalah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku usaha UMKM online dan UMKM offline,” ujar Rosmauli.

Target peluncuran aturan ini disebut-sebut paling cepat pada Juli 2025. Kebijakan tersebut diharapkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat ekosistem usaha secara menyeluruh, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Meski begitu, reaksi dari pelaku industri cukup beragam. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyatakan dukungan terhadap langkah pemerintah. Namun, ia menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan kesiapan pelaku usaha serta memastikan infrastruktur pendukung telah memadai sebelum kebijakan tersebut diberlakukan. "Kami percaya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada pendekatan yang kolaboratif, terencana, dan inklusif agar tidak menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional," kata Budi.

Budi juga mengingatkan bahwa UMKM digital yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi nasional, harus dilindungi dari dampak negatif yang bisa timbul akibat penerapan aturan secara tergesa-gesa. idEA mengimbau agar pemerintah membangun komunikasi yang terbuka, sekaligus memfasilitasi transisi agar kebijakan ini bisa diterima tanpa menciptakan keresahan.

Kebijakan pajak terhadap e-commerce bukan pertama kalinya diwacanakan. Pada 2018, pemerintah sempat mengusulkan skema serupa, namun akhirnya dibatalkan karena kuatnya penolakan dari industri. Kini, dengan semakin berkembangnya ekonomi digital dan meningkatnya volume transaksi daring, pemerintah kembali mengambil langkah untuk meregulasi ruang tersebut.

Dengan konteks yang semakin kompleks dan aktor ekonomi yang kian banyak, sinergi antara pembuat kebijakan dan pelaku industri menjadi kunci. Apalagi, dalam era digital, kebijakan fiskal yang tidak dirancang dengan partisipasi luas bisa berdampak langsung terhadap stabilitas ekosistem digital yang sensitif dan dinamis.

Jika langkah koordinatif ini tidak segera diambil, potensi disrupsi dan resistensi dari masyarakat maupun dunia usaha sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, seperti yang disampaikan Misbakhun, peran Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan sangat krusial dalam mengatur ritme komunikasi, agar pajak e-commerce benar-benar bisa menjadi solusi fiskal yang inklusif dan tidak membebani pertumbuhan UMKM.

Terkini