JAKARTA - Langkah besar tengah dipersiapkan Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, untuk menjawab tantangan pelik transportasi di wilayahnya. Dengan kondisi kemacetan yang kian memburuk, Farhan berniat melakukan reformasi menyeluruh pada sistem transportasi massal. Terinspirasi dari keberhasilan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dalam membangun Transjakarta, Farhan menyatakan tekad untuk membenahi Kota Bandung meskipun konsekuensinya berpotensi tidak populer di awal.
“Jalanin BRT (Bus Rapid Transit), akan dimusuhin 2 tahun tapi nanti ada angkutan massal. Kayak Jakarta saat zaman (gubernur) Sutiyoso,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut menegaskan keberaniannya menghadapi reaksi publik yang kemungkinan muncul, serupa dengan yang dialami Bang Yos saat membangun Transjakarta pada 2004. Kala itu, banyak pihak menentang proyek tersebut karena dinilai menyebabkan kemacetan dan mengganggu arus lalu lintas. Namun, setelah terbukti efektif dalam jangka panjang, sistem tersebut kini menjadi tulang punggung transportasi ibu kota.
Farhan melihat bahwa perubahan serupa dibutuhkan di Bandung. Berdasarkan data dari TomTom Traffic Index, Bandung kini dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia. Predikat ini tidak hanya menjadi sorotan nasional, tetapi juga menuntut solusi konkret dan terstruktur dari pemerintah kota.
Salah satu persoalan utama terletak pada sistem trayek angkutan kota (angkot) yang masih mendominasi sejak 1980-an. Farhan menyebut sistem tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan kota saat ini. Selain sudah usang, angkot juga kalah saing dengan kemunculan layanan transportasi daring (online), yang menawarkan fleksibilitas dan kenyamanan bagi masyarakat.
Banyak warga Bandung yang beralih menggunakan kendaraan pribadi karena menilai transportasi umum saat ini tidak nyaman dan tidak efisien. Namun, Farhan menyadari bahwa membatasi penggunaan kendaraan pribadi bukanlah solusi yang mudah. Apalagi, sektor ini menyumbang pendapatan besar bagi daerah.
“Pajak dari kendaraan pribadi sangat tinggi, mencapai Rp 600 miliar,” ujarnya.
Maka dari itu, alih-alih membatasi kepemilikan kendaraan, Farhan memilih memperbaiki ekosistem transportasi massal agar menjadi pilihan utama masyarakat. Salah satu proyek ambisius yang akan direalisasikan adalah pembangunan sistem Bus Rapid Transit (BRT), bekerja sama dengan pemerintah pusat dan provinsi.
Total anggaran yang digelontorkan untuk proyek ini mencapai Rp 500 miliar per tahun. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan jalur khusus BRT di berbagai koridor strategis Kota Bandung. Proyek ini diharapkan tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga mengubah budaya mobilitas masyarakat.
“Rp 500 miliar setahun yang akan dialokasikan membangun BRT, kemacetannya (saat pembangunan) nanti kayak Jakarta tahun 2004 bangun Transjakarta,” kata Farhan dalam acara di Kampus Unisba beberapa waktu lalu.
Proyek pembangunan BRT tentu akan melalui berbagai tantangan. Salah satunya adalah dampak langsung terhadap lalu lintas selama proses konstruksi. Farhan menyadari bahwa upaya ini berisiko mendapat penolakan, terutama dari pihak yang terdampak langsung, baik dari sisi pengguna jalan maupun pelaku usaha transportasi konvensional.
Namun demikian, ia menegaskan komitmennya untuk tetap mendukung pembangunan sistem transportasi umum ini demi manfaat jangka panjang. Baginya, keberanian mengambil langkah tidak populer menjadi hal yang penting dalam membangun fondasi kota masa depan.
Reformasi transportasi ini tidak semata-mata bertujuan mengurai kemacetan, melainkan juga untuk memperbaiki kualitas hidup warga kota. Dengan transportasi massal yang memadai, masyarakat akan lebih efisien dalam beraktivitas, polusi dapat ditekan, dan ketergantungan pada kendaraan pribadi pun berkurang.
Sebagaimana yang terjadi di Jakarta, transisi menuju sistem transportasi modern membutuhkan proses dan waktu. Namun dengan perencanaan matang dan sinergi antar pemerintah daerah dan pusat, transformasi ini diyakini dapat terwujud.
Upaya Farhan meniru pendekatan Bang Yos juga menjadi penegas bahwa pembangunan transportasi harus berani menghadapi risiko demi hasil jangka panjang yang berkelanjutan. Dibutuhkan visi besar dan konsistensi kebijakan agar reformasi tersebut bisa berjalan optimal.
Dalam waktu dekat, Pemerintah Kota Bandung akan memulai langkah teknis pembangunan BRT. Perencanaan jalur, pengadaan armada, hingga integrasi dengan moda transportasi lain menjadi bagian dari pekerjaan besar yang harus dituntaskan. Edukasi publik juga akan dilakukan agar masyarakat memahami manfaat dan dampak proyek ini.
Terobosan ini diharapkan dapat menjadikan Bandung sebagai kota percontohan di luar Jakarta dalam hal pengembangan transportasi massal berbasis sistem modern. Ketika sistem ini rampung dan berjalan optimal, masyarakat akan merasakan langsung dampak positifnya sebagaimana yang pernah terjadi di ibu kota dua dekade lalu.
Dengan semangat perubahan dan keberanian mengambil risiko, Farhan bertekad menata ulang wajah transportasi Bandung. Meski tantangan menghadang, reformasi ini dianggap sebagai langkah penting demi Bandung yang lebih tertib, nyaman, dan ramah bagi warganya.Langkah besar tengah dipersiapkan Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, untuk menjawab tantangan pelik transportasi di wilayahnya. Dengan kondisi kemacetan yang kian memburuk, Farhan berniat melakukan reformasi menyeluruh pada sistem transportasi massal. Terinspirasi dari keberhasilan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dalam membangun Transjakarta, Farhan menyatakan tekad untuk membenahi Kota Bandung—meskipun konsekuensinya berpotensi tidak populer di awal.
“Jalanin BRT (Bus Rapid Transit), akan dimusuhin 2 tahun tapi nanti ada angkutan massal. Kayak Jakarta saat zaman (gubernur) Sutiyoso,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut menegaskan keberaniannya menghadapi reaksi publik yang kemungkinan muncul, serupa dengan yang dialami Bang Yos saat membangun Transjakarta pada 2004. Kala itu, banyak pihak menentang proyek tersebut karena dinilai menyebabkan kemacetan dan mengganggu arus lalu lintas. Namun, setelah terbukti efektif dalam jangka panjang, sistem tersebut kini menjadi tulang punggung transportasi ibu kota.
Farhan melihat bahwa perubahan serupa dibutuhkan di Bandung. Berdasarkan data dari TomTom Traffic Index, Bandung kini dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia. Predikat ini tidak hanya menjadi sorotan nasional, tetapi juga menuntut solusi konkret dan terstruktur dari pemerintah kota.
Salah satu persoalan utama terletak pada sistem trayek angkutan kota (angkot) yang masih mendominasi sejak 1980-an. Farhan menyebut sistem tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan kota saat ini. Selain sudah usang, angkot juga kalah saing dengan kemunculan layanan transportasi daring (online), yang menawarkan fleksibilitas dan kenyamanan bagi masyarakat.
Banyak warga Bandung yang beralih menggunakan kendaraan pribadi karena menilai transportasi umum saat ini tidak nyaman dan tidak efisien. Namun, Farhan menyadari bahwa membatasi penggunaan kendaraan pribadi bukanlah solusi yang mudah. Apalagi, sektor ini menyumbang pendapatan besar bagi daerah.
“Pajak dari kendaraan pribadi sangat tinggi, mencapai Rp 600 miliar,” ujarnya.
Maka dari itu, alih-alih membatasi kepemilikan kendaraan, Farhan memilih memperbaiki ekosistem transportasi massal agar menjadi pilihan utama masyarakat. Salah satu proyek ambisius yang akan direalisasikan adalah pembangunan sistem Bus Rapid Transit (BRT), bekerja sama dengan pemerintah pusat dan provinsi.
Total anggaran yang digelontorkan untuk proyek ini mencapai Rp 500 miliar per tahun. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan jalur khusus BRT di berbagai koridor strategis Kota Bandung. Proyek ini diharapkan tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga mengubah budaya mobilitas masyarakat.
“Rp 500 miliar setahun yang akan dialokasikan membangun BRT, kemacetannya (saat pembangunan) nanti kayak Jakarta tahun 2004 bangun Transjakarta,” kata Farhan dalam acara di Kampus Unisba beberapa waktu lalu.
Proyek pembangunan BRT tentu akan melalui berbagai tantangan. Salah satunya adalah dampak langsung terhadap lalu lintas selama proses konstruksi. Farhan menyadari bahwa upaya ini berisiko mendapat penolakan, terutama dari pihak yang terdampak langsung, baik dari sisi pengguna jalan maupun pelaku usaha transportasi konvensional.
Namun demikian, ia menegaskan komitmennya untuk tetap mendukung pembangunan sistem transportasi umum ini demi manfaat jangka panjang. Baginya, keberanian mengambil langkah tidak populer menjadi hal yang penting dalam membangun fondasi kota masa depan.
Reformasi transportasi ini tidak semata-mata bertujuan mengurai kemacetan, melainkan juga untuk memperbaiki kualitas hidup warga kota. Dengan transportasi massal yang memadai, masyarakat akan lebih efisien dalam beraktivitas, polusi dapat ditekan, dan ketergantungan pada kendaraan pribadi pun berkurang.
Sebagaimana yang terjadi di Jakarta, transisi menuju sistem transportasi modern membutuhkan proses dan waktu. Namun dengan perencanaan matang dan sinergi antar pemerintah daerah dan pusat, transformasi ini diyakini dapat terwujud.
Upaya Farhan meniru pendekatan Bang Yos juga menjadi penegas bahwa pembangunan transportasi harus berani menghadapi risiko demi hasil jangka panjang yang berkelanjutan. Dibutuhkan visi besar dan konsistensi kebijakan agar reformasi tersebut bisa berjalan optimal.
Dalam waktu dekat, Pemerintah Kota Bandung akan memulai langkah teknis pembangunan BRT. Perencanaan jalur, pengadaan armada, hingga integrasi dengan moda transportasi lain menjadi bagian dari pekerjaan besar yang harus dituntaskan. Edukasi publik juga akan dilakukan agar masyarakat memahami manfaat dan dampak proyek ini.
Terobosan ini diharapkan dapat menjadikan Bandung sebagai kota percontohan di luar Jakarta dalam hal pengembangan transportasi massal berbasis sistem modern. Ketika sistem ini rampung dan berjalan optimal, masyarakat akan merasakan langsung dampak positifnya sebagaimana yang pernah terjadi di ibu kota dua dekade lalu.
Dengan semangat perubahan dan keberanian mengambil risiko, Farhan bertekad menata ulang wajah transportasi Bandung. Meski tantangan menghadang, reformasi ini dianggap sebagai langkah penting demi Bandung yang lebih tertib, nyaman, dan ramah bagi warganya. Dengan kondisi kemacetan yang kian memburuk, Farhan berniat melakukan reformasi menyeluruh pada sistem transportasi massal. Terinspirasi dari keberhasilan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dalam membangun Transjakarta, Farhan menyatakan tekad untuk membenahi Kota Bandung—meskipun konsekuensinya berpotensi tidak populer di awal.
“Jalanin BRT (Bus Rapid Transit), akan dimusuhin 2 tahun tapi nanti ada angkutan massal. Kayak Jakarta saat zaman (gubernur) Sutiyoso,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut menegaskan keberaniannya menghadapi reaksi publik yang kemungkinan muncul, serupa dengan yang dialami Bang Yos saat membangun Transjakarta pada 2004. Kala itu, banyak pihak menentang proyek tersebut karena dinilai menyebabkan kemacetan dan mengganggu arus lalu lintas. Namun, setelah terbukti efektif dalam jangka panjang, sistem tersebut kini menjadi tulang punggung transportasi ibu kota.
Farhan melihat bahwa perubahan serupa dibutuhkan di Bandung. Berdasarkan data dari TomTom Traffic Index, Bandung kini dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia. Predikat ini tidak hanya menjadi sorotan nasional, tetapi juga menuntut solusi konkret dan terstruktur dari pemerintah kota.
Salah satu persoalan utama terletak pada sistem trayek angkutan kota (angkot) yang masih mendominasi sejak 1980-an. Farhan menyebut sistem tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan kota saat ini. Selain sudah usang, angkot juga kalah saing dengan kemunculan layanan transportasi daring (online), yang menawarkan fleksibilitas dan kenyamanan bagi masyarakat.
Banyak warga Bandung yang beralih menggunakan kendaraan pribadi karena menilai transportasi umum saat ini tidak nyaman dan tidak efisien. Namun, Farhan menyadari bahwa membatasi penggunaan kendaraan pribadi bukanlah solusi yang mudah. Apalagi, sektor ini menyumbang pendapatan besar bagi daerah.
“Pajak dari kendaraan pribadi sangat tinggi, mencapai Rp 600 miliar,” ujarnya.
Maka dari itu, alih-alih membatasi kepemilikan kendaraan, Farhan memilih memperbaiki ekosistem transportasi massal agar menjadi pilihan utama masyarakat. Salah satu proyek ambisius yang akan direalisasikan adalah pembangunan sistem Bus Rapid Transit (BRT), bekerja sama dengan pemerintah pusat dan provinsi.
Total anggaran yang digelontorkan untuk proyek ini mencapai Rp 500 miliar per tahun. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan jalur khusus BRT di berbagai koridor strategis Kota Bandung. Proyek ini diharapkan tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga mengubah budaya mobilitas masyarakat.
“Rp 500 miliar setahun yang akan dialokasikan membangun BRT, kemacetannya (saat pembangunan) nanti kayak Jakarta tahun 2004 bangun Transjakarta,” kata Farhan dalam acara di Kampus Unisba beberapa waktu lalu.
Proyek pembangunan BRT tentu akan melalui berbagai tantangan. Salah satunya adalah dampak langsung terhadap lalu lintas selama proses konstruksi. Farhan menyadari bahwa upaya ini berisiko mendapat penolakan, terutama dari pihak yang terdampak langsung, baik dari sisi pengguna jalan maupun pelaku usaha transportasi konvensional.
Namun demikian, ia menegaskan komitmennya untuk tetap mendukung pembangunan sistem transportasi umum ini demi manfaat jangka panjang. Baginya, keberanian mengambil langkah tidak populer menjadi hal yang penting dalam membangun fondasi kota masa depan.
Reformasi transportasi ini tidak semata-mata bertujuan mengurai kemacetan, melainkan juga untuk memperbaiki kualitas hidup warga kota. Dengan transportasi massal yang memadai, masyarakat akan lebih efisien dalam beraktivitas, polusi dapat ditekan, dan ketergantungan pada kendaraan pribadi pun berkurang.
Sebagaimana yang terjadi di Jakarta, transisi menuju sistem transportasi modern membutuhkan proses dan waktu. Namun dengan perencanaan matang dan sinergi antar pemerintah daerah dan pusat, transformasi ini diyakini dapat terwujud.
Upaya Farhan meniru pendekatan Bang Yos juga menjadi penegas bahwa pembangunan transportasi harus berani menghadapi risiko demi hasil jangka panjang yang berkelanjutan. Dibutuhkan visi besar dan konsistensi kebijakan agar reformasi tersebut bisa berjalan optimal.
Dalam waktu dekat, Pemerintah Kota Bandung akan memulai langkah teknis pembangunan BRT. Perencanaan jalur, pengadaan armada, hingga integrasi dengan moda transportasi lain menjadi bagian dari pekerjaan besar yang harus dituntaskan. Edukasi publik juga akan dilakukan agar masyarakat memahami manfaat dan dampak proyek ini.
Terobosan ini diharapkan dapat menjadikan Bandung sebagai kota percontohan di luar Jakarta dalam hal pengembangan transportasi massal berbasis sistem modern. Ketika sistem ini rampung dan berjalan optimal, masyarakat akan merasakan langsung dampak positifnya—sebagaimana yang pernah terjadi di ibu kota dua dekade lalu.
Dengan semangat perubahan dan keberanian mengambil risiko, Farhan bertekad menata ulang wajah transportasi Bandung. Meski tantangan menghadang, reformasi ini dianggap sebagai langkah penting demi Bandung yang lebih tertib, nyaman, dan ramah bagi warganya.