JAKARTA – Perubahan lanskap politik di kalangan anak muda tak lagi sekadar ditentukan oleh partai, program, atau janji kampanye. Di tengah dominasi media sosial, influencer menjadi kekuatan baru yang mampu membentuk opini dan arah dukungan generasi muda.
Fenomena ini mencerminkan babak baru dalam keterlibatan publik terhadap politik. Sosok-sosok yang sebelumnya dikenal lewat dunia hiburan seperti selebgram, musisi, hingga komika kini aktif menyuarakan sikap mereka terhadap isu politik, bahkan ada yang terjun langsung ke dunia politik praktis. Kehadiran mereka bukan sekadar simbol, melainkan menjadi penghubung antara politik dan keseharian anak muda.
Menariknya, banyak dari para influencer ini yang dipandang lebih autentik dan dapat dipercaya dibandingkan tokoh politik tradisional. Generasi muda merasa lebih dekat secara emosional dengan mereka karena mengikuti keseharian para figur publik ini di berbagai platform digital. Keputusan untuk mengikuti pandangan politik influencer pun kerap dianggap sebagai cerminan dari keinginan untuk mendapatkan informasi dari sumber yang relatable.
Namun, di balik kedekatan tersebut, muncul pertanyaan penting: sejauh mana pengaruh yang mereka berikan didasarkan pada keyakinan pribadi, dan bukan bagian dari strategi kampanye terstruktur?
Hal ini menjadi penting ketika mengingat potensi eksploitasi kepercayaan publik yang begitu besar. Dengan jumlah pengikut yang bisa mencapai jutaan, setiap unggahan dari seorang influencer dapat menjadi pengaruh signifikan terhadap opini publik, terutama bagi generasi muda yang masih mencari arah dan identitas politiknya.
Ada situasi di mana dukungan yang diberikan oleh influencer terlihat lebih sebagai bentuk kampanye kreatif ketimbang pernyataan ideologis yang mendalam. Dalam beberapa kesempatan, bahasa politik dikemas dengan gaya ringan seperti meme, video reaction, atau TikTok, yang mempermudah pemahaman publik, namun juga berpotensi menyederhanakan substansi isu.
Kondisi ini membuka kemungkinan adanya kerja sama yang lebih formal antara figur publik dan pihak-pihak tertentu, seperti agensi, tim kampanye, atau bahkan partai politik. Mereka menjadikan influencer sebagai juru bicara informal dengan pendekatan yang menyasar secara langsung emosi dan keakraban anak muda terhadap sosok idola mereka.
Ketika para pemilih muda lebih mempercayai konten yang relatable daripada pernyataan resmi partai politik, dinamika ini tentu patut dicermati dengan seksama. Bukan karena keterlibatan influencer itu salah, tetapi agar publik, khususnya generasi muda, tidak terjebak dalam informasi satu arah yang belum tentu netral atau utuh.
Sementara itu, anak-anak muda yang menjadikan pendapat para influencer sebagai rujukan utama dalam menentukan sikap politiknya, bisa saja kehilangan pijakan rasional dalam proses pengambilan keputusan. Risiko terbesar adalah ketika preferensi politik didasarkan semata pada emosi atau ketertarikan pribadi terhadap seorang figur, tanpa mempertimbangkan data dan konteks kebijakan.
Meski demikian, kehadiran influencer dalam ruang politik tetap perlu dilihat sebagai gejala positif atas meningkatnya kesadaran politik masyarakat, khususnya dari kalangan non-politisi. Keterlibatan publik non-elitis ini bisa menjadi jembatan demokrasi yang menjangkau lebih luas, asalkan dibarengi dengan penguatan literasi media dan politik.
Kemampuan untuk membedakan antara opini pribadi, kampanye terselubung, dan bentuk advokasi yang tulus perlu terus dibangun di kalangan pemilih muda. Tidak semua konten yang dikemas menarik memiliki substansi yang kuat. Sebaliknya, tidak semua pernyataan politik dari influencer adalah bentuk kepentingan semata.
Mereka tentu punya hak menyampaikan opini, terlebih saat menyangkut isu keadilan sosial atau keberpihakan terhadap kelompok yang termarjinalkan. Namun sebagai tokoh publik, mereka juga memikul tanggung jawab moral untuk memberikan informasi yang jujur dan tidak menyesatkan.
Pengaruh influencer dalam dunia politik tidak bisa dibendung. Justru di sinilah peran penting ekosistem digital untuk memastikan transparansi, edukasi, dan ruang diskusi yang sehat. Jika generasi muda dibekali dengan kemampuan berpikir kritis, maka pengaruh influencer bukan lagi dianggap sebagai ancaman, melainkan jembatan komunikasi yang memperkuat partisipasi demokratis.
Dengan begitu, politik bukan lagi milik segelintir elite atau institusi formal. Ia menjadi bagian dari keseharian publik, termasuk anak muda, yang terlibat aktif, sadar, dan bijak dalam menentukan arah masa depan bangsa.