JAKARTA – Praktik pemberian bantuan hukum oleh Sarjana Hukum kembali menjadi sorotan. Seorang Sarjana Hukum, Nanang Kosasih, menggugat ketentuan dalam Undang-Undang Advokat karena merasa haknya untuk membantu keluarga yang menghadapi persoalan hukum secara insidentil justru dibatasi secara normatif. Gugatan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pendahuluan yang digelar.
Permohonan bernomor 102/PUU-XXIII/2025 itu menyoroti secara khusus Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyebutkan bahwa hanya advokat yang disumpah yang dapat memberikan jasa hukum. Menurut Nanang, ketentuan tersebut terlalu membatasi ruang gerak Sarjana Hukum untuk berkontribusi secara hukum, terutama dalam lingkup kekeluargaan.
Sidang perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, bersama Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih.
Tak Sekadar Norma, Ini Soal Hak Konstitusional
Dalam permohonannya, Nanang yang hadir tanpa kuasa hukum, mengemukakan bahwa norma dalam Pasal 1 ayat (2) UU Advokat mengabaikan kapasitas keilmuan lulusan Sarjana Hukum. Ia menilai bahwa kondisi tersebut menciptakan kekosongan hukum bagi warga negara yang hendak memberikan pendampingan hukum insidentil dalam situasi darurat, terutama kepada anggota keluarganya sendiri.
"Ketika keluarga saya menghadapi masalah hukum serius seperti pengancaman dan pembakaran, saya tidak bisa mendampingi secara formal hanya karena belum disumpah sebagai advokat," ujar Nanang di hadapan majelis hakim.
Menurutnya, pembatasan itu bertentangan dengan hak-hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengacu pada Putusan MK Sebelumnya
Nanang mengutip Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 sebagai landasan hukum yang menguatkan argumentasinya. Putusan tersebut menyatakan bahwa bantuan hukum yang diberikan oleh individu nonadvokat tidak dapat dikenai sanksi pidana sepanjang tidak dilakukan secara profesional dan berulang. Ia menilai semangat dari putusan itu harus dipertahankan dan bahkan diperluas, terutama dalam mendefinisikan ulang makna dari frasa “jasa hukum”.
Bagi Nanang, pendekatan konstitusional yang inklusif terhadap definisi “jasa hukum” sangat penting. Bukan untuk menyaingi profesi advokat, melainkan untuk mengakui peran substantif warga negara yang memiliki keilmuan di bidang hukum dalam membantu sesama secara insidentil, khususnya dalam konteks kekeluargaan dan perkara nonlitigasi.
Hambatan Struktural di Lapangan
Pemohon juga menyoroti adanya hambatan administratif yang dialami oleh banyak Sarjana Hukum yang telah menempuh Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan lulus Ujian Profesi Advokat (UPA), tetapi belum disumpah sebagai advokat. Meskipun mereka telah memiliki kompetensi, mereka tetap ditolak oleh aparat penegak hukum ketika hendak memberikan pendampingan.
Hal ini, menurut Nanang, menunjukkan ketimpangan antara substansi hukum dan praktik di lapangan. Bahkan dalam tahap pra-penyidikan atau pelaporan kasus ke kepolisian pun, warga negara yang memiliki ilmu hukum tetapi belum berstatus advokat tidak dapat secara resmi mendampingi anggota keluarganya.
Preseden Hukum yang Diabaikan
Nanang juga mengingatkan bahwa praktik kuasa insidentil sejatinya telah dikenal dalam hukum perdata melalui Pasal 123 HIR dan Pasal 147 RBg, serta diakui pula melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2012 dalam konteks hubungan industrial.
Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara eksplisit mengizinkan pengurus serikat pekerja atau buruh mendampingi anggotanya. Namun, dalam konteks hukum pidana, khususnya nonlitigasi, ruang semacam ini justru belum diakomodasi.
Permohonan Bukan Mengarah pada Uji Profesi Advokat
Nanang menekankan bahwa permohonannya tidak menyasar pada ketentuan profesi advokat seperti usia atau sumpah. Ia tidak meminta Mahkamah untuk mencabut atau membatalkan norma UU Advokat. Sebaliknya, ia meminta agar MK memberikan tafsir konstitusional terhadap frasa “jasa hukum” agar lebih terbuka terhadap bantuan hukum yang dilakukan dalam kapasitas pribadi dan terbatas, khususnya untuk kepentingan keluarga.
"Pemohon tidak meminta penghapusan ketentuan normatif, tetapi hanya meminta agar Mahkamah menafsirkan secara konstitusional frasa ‘jasa hukum’ agar tidak mencabut hak substantif warga negara yang telah memiliki kapasitas keilmuan hukum untuk membantu keluarga sendiri dalam kondisi darurat hukum,” ujarnya dalam persidangan.
Catatan Majelis dan Perbaikan Permohonan
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang tersebut memberikan masukan kepada Pemohon agar menyempurnakan beberapa aspek permohonan. Di antaranya adalah bagian mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dan hubungan kausalitas antara norma yang diuji dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon.
“Silakan bagian kewenangannya disempurnakan. UUD dan UU MK versi terakhir ditampilkan. Lalu dijelaskan pula bagaimana norma itu merugikan secara konstitusional,” kata Enny memberi arahan.
Mahkamah memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki dan melengkapi permohonannya. Perbaikan tersebut harus diterima di Kepaniteraan MK paling lambat pada Selasa, 15 Juli 2025 pukul 12.00 WIB.