JAKARTA – Politik pembangunan yang dijalankan pemerintah perlu kembali diletakkan pada jalur yang selaras dengan Pancasila dan konstitusi. Seruan ini disampaikan oleh pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, yang menilai bahwa arah kebijakan pembangunan nasional tak seharusnya tercerabut dari nilai-nilai dasar negara.
Menurut Arie, pembangunan bukan sekadar urusan teknokratis yang fokus pada pertumbuhan ekonomi. Di balik setiap kebijakan, seharusnya terkandung semangat keadilan sosial, inklusi, dan demokrasi nilai-nilai yang diamanatkan oleh ideologi dan konstitusi Indonesia.
“Pancasila dan konstitusi adalah fondasi yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa. Jika pembangunan tidak dilandasi keduanya, maka bisa kehilangan arah dan legitimasi sosial,” ujar Arie dalam keterangannya di Yogyakarta.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa pembangunan nasional harus berangkat dari kerangka politik yang berpihak pada rakyat. Dalam pandangannya, politik pembangunan ideal adalah yang mampu mempererat hubungan antara negara dan masyarakat, bukan justru memperlebar jarak sosial dan ekonomi di antara keduanya.
“Politik pembangunan yang partisipatif harus melibatkan berbagai kelompok masyarakat dalam pengambilan keputusan. Ini bagian dari semangat demokrasi yang termaktub dalam konstitusi kita,” ucap dosen Sosiologi Fisipol UGM tersebut.
Bukan Sekadar Pertumbuhan Ekonomi
Kritik Arie terhadap praktik politik pembangunan saat ini bertumpu pada kekhawatiran bahwa kebijakan kerap kali terlalu elitis. Pemerintah dianggap terlalu fokus mengejar indikator makro seperti angka pertumbuhan ekonomi, tanpa cukup memperhatikan aspek pemerataan dan keadilan sosial.
“Kebijakan pembangunan yang berhasil adalah yang mampu menjawab kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar ambisi elite politik atau teknokrat,” katanya.
Baginya, pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi tidak boleh menjadi tujuan tunggal. Lebih dari itu, pembangunan seharusnya menghadirkan perubahan konkret dalam kehidupan masyarakat sehari-hari: akses pendidikan dan kesehatan yang merata, infrastruktur yang menjangkau wilayah terluar, serta peluang ekonomi yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat.
Konsistensi antara Rencana dan Realita
Arie juga menggarisbawahi perlunya konsistensi antara perencanaan dan implementasi kebijakan. Banyak program pemerintah, katanya, terlihat menjanjikan di atas kertas namun gagal menjawab persoalan nyata di lapangan.
Ia menyebut bahwa sering kali pelaksanaan pembangunan bersifat top-down dan tidak mempertimbangkan konteks sosial masyarakat. Padahal, pembangunan yang berkelanjutan dan berdampak luas justru harus dimulai dari bawah, dari suara dan kebutuhan masyarakat.
“Dalam praktiknya, pembangunan sering kali menjadi proyek elite semata. Padahal, jika pembangunan ingin berkelanjutan dan berdampak luas, maka harus dibangun dari bawah,” tegasnya.
Menurut Arie, inilah yang menjadi titik kritis: pembangunan perlu dikembalikan kepada masyarakat, bukan hanya menjadi instrumen politik kekuasaan. Rakyat seharusnya tidak hanya dijadikan objek pembangunan, tetapi juga subjek aktif dalam merumuskan dan mengawalnya.
Pembangunan yang Inklusif dan Demokratis
Arie berpandangan bahwa pendekatan pembangunan yang lebih demokratis dan inklusif dapat memperkuat legitimasi kebijakan pemerintah. Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bukan hanya akan meningkatkan kualitas kebijakan, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap pembangunan yang sedang dijalankan.
Ia juga menekankan bahwa partisipasi masyarakat bukanlah sekadar formalitas dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Lebih dari itu, partisipasi seharusnya bermakna, dengan ruang yang terbuka luas bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan pendapat, mengawasi kebijakan, dan memberi masukan yang konstruktif.
“Pembangunan tidak boleh dijalankan secara top-down yang otoriter, melainkan harus mendorong kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha,” jelasnya.
Politik Pembangunan yang Beretika
Dalam konteks dinamika politik nasional, Arie juga menyoroti pentingnya etika dalam menjalankan politik pembangunan. Menurutnya, politik bukan sekadar arena kekuasaan, tetapi sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, Arie menilai penting bagi para pengambil kebijakan untuk tidak terjebak pada logika proyek jangka pendek yang mengejar popularitas, melainkan membangun strategi pembangunan yang terukur dan konsisten dengan visi jangka panjang bangsa.
Etika politik dalam pembangunan berarti keberpihakan pada masyarakat marjinal, transparansi dalam pengelolaan anggaran, serta integritas dalam pelaksanaan proyek-proyek strategis. Tanpa hal itu, maka politik pembangunan hanya akan menjadi proyek pencitraan yang jauh dari manfaat nyata bagi rakyat.
Menjaga Arah Pembangunan Sesuai Konstitusi
Menutup pandangannya, Arie mengingatkan bahwa pembangunan nasional hanya akan memperoleh dukungan luas dari masyarakat jika tetap berpijak pada semangat Pancasila dan konstitusi. Kedua landasan itu, katanya, bukan hanya simbol, melainkan kompas moral dan politik bagi seluruh kebijakan negara.
Ia menegaskan, pembangunan yang tidak berakar pada prinsip-prinsip dasar negara rentan kehilangan arah, serta bisa menciptakan jurang ketidakpercayaan antara negara dan rakyat.
“Jika pembangunan ingin berhasil, maka harus menjadikan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi sebagai acuan utama dalam setiap langkah kebijakan,” tutupnya.