Megaproyek

Megaproyek Prabowo Tantang APBN

Megaproyek Prabowo Tantang APBN
Megaproyek Prabowo Tantang APBN

JAKARTA – Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pembangunan infrastruktur kembali menjadi sorotan. Setelah dua periode Presiden Joko Widodo dikenal dengan pembangunan jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera yang sebagian besar masih belum rampung kini giliran Prabowo membawa visi besar lewat megaproyek infrastruktur berbiaya fantastis.

Salah satu proyek yang mengemuka adalah Giant Sea Wall (GSW), tanggul laut raksasa yang disebut-sebut akan melindungi kawasan Pantai Utara Jawa dari potensi tenggelam akibat perubahan iklim dan naiknya permukaan laut. Proyek ini tak main-main. Angkanya membuat mata terbelalak antara Rp500 triliun hingga Rp2.000 triliun, setara dengan seluruh APBN satu tahun.

Proyek ini mengingatkan publik pada rencana ambisius era Susilo Bambang Yudhoyono, yakni pembangunan Jembatan Selat Sunda, yang pada akhirnya hanya menjadi wacana. Namun, berbeda dengan masa lalu, GSW kini tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2025 hingga 2029 melalui Perpres No. 12 Tahun 2025 sebagai proyek strategis nasional.

Rencananya, GSW akan membentang dari Banten hingga Gresik, dengan panjang hampir 1.000 kilometer. Secara teknis, tembok laut ini akan menjadi pelindung utama kawasan permukiman padat dan zona industri sepanjang Pantura dari ancaman banjir rob dan abrasi. Namun, tantangan pendanaannya tidak sederhana.

Karena kemampuan fiskal negara terbatas, pemerintah mengandalkan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Untuk menarik investor, pemerintah menggelar International Conference on Infrastructure (ICI) pada 11 hingga 12 Juni 2025 lalu. Forum itu dikomandoi langsung oleh Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Presiden ke-6 RI.

Dalam forum tersebut, investor global dan BUMN lokal diajak berkolaborasi. Pemerintah bahkan menyiapkan Danantara, lembaga pembiayaan khusus infrastruktur, yang bertugas menjadi penghubung antara modal dan proyek.

Namun demikian, GSW menuai kontroversi. Pertama, proyek ini tidak bersifat komersial, sehingga investor mempertimbangkan ulang karena tidak menjanjikan keuntungan finansial langsung. Kedua, potensi gangguan terhadap nelayan, tambak, serta ekosistem pesisir juga menjadi perhatian serius. Ketiga, dari sisi teknis, pembangunan GSW menimbulkan tantangan besar. Aliran sungai bisa terganggu, sehingga dibutuhkan sistem pompa raksasa untuk mengendalikan air.

Beberapa pihak mulai mengusulkan alternatif solusi. Salah satunya adalah membangun tanggul hanya di area yang rawan, sementara sisanya dilindungi dengan pendekatan berbasis alam seperti penanaman mangrove atau relokasi terbatas warga di zona merah.

Selain GSW, proyek Kereta Cepat Jakarta hingga Surabaya menjadi fokus besar berikutnya. Setelah proyek Kereta Cepat Jakarta hingga Bandung diluncurkan di era Jokowi namun belum sepenuhnya rampung, kini proyek tersebut dirancang untuk dilanjutkan hingga Surabaya. Estimasi biayanya mencapai Rp700 triliun.

Namun proyek ini juga tidak bebas tantangan. Masalah utama adalah risiko komersial yang tinggi, mengingat proyek seperti ini bisa memerlukan puluhan tahun untuk balik modal. Pemerintah pun kembali mengandalkan pendanaan dari investor asing karena APBN sudah terbebani program prioritas lain, seperti MBG (Makan Bergizi Gratis) dan belanja wajib lainnya.

Selain biaya, rute proyek kereta cepat juga menjadi perdebatan. Ada opsi memperpanjang dari Bandung ke Surabaya, namun ada pula usulan jalur baru langsung dari Jakarta ke Surabaya. Risiko tumpang tindih dengan moda transportasi lain, seperti penerbangan domestik, menjadi pertimbangan strategis yang tidak bisa diabaikan.

Sementara itu, dalam RPJMN 2025 hingga 2029, pemerintah juga menargetkan pembangunan pembangkit listrik berkapasitas total 69,5 GW hingga tahun 2034. Beberapa proyek yang masuk daftar antara lain PLTA Kayan di Kalimantan Utara, PLTS terapung di sejumlah waduk di Jawa, serta PLTG berbasis gas dari Andaman dan Tanimbar.

Berbeda dengan GSW, proyek-proyek pembangkit ini relatif lebih menarik bagi investor karena memiliki pasar yang jelas dan skema pembiayaan yang sudah terbentuk, termasuk kontrak langsung dengan PLN. Secara komersial, proyek ini dinilai lebih feasible.

Namun begitu, media seperti Tempo menyebut seluruh megaproyek ini sebagai ambisi besar di tengah kondisi fiskal yang menipis. Bila tidak dikelola secara matang, proyek-proyek ini bisa menjadi beban baru bagi BUMN, terutama bagi Danantara yang mestinya berperan sebagai entitas komersial, bukan hanya penopang proyek-proyek negara.

Secara keseluruhan, kepemimpinan Prabowo membuka babak baru pembangunan nasional dengan skala raksasa dan biaya besar. Tantangannya kini bukan hanya soal teknis dan pembiayaan, tetapi juga bagaimana menyeimbangkan antara ambisi, keberlanjutan, dan akuntabilitas fiskal.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index