Bansos

Bansos Salah Sasaran

Bansos Salah Sasaran
Bansos Salah Sasaran

JAKARTA - Fenomena mengejutkan terkuak dalam pengelolaan bantuan sosial (bansos) di Indonesia. Bukan soal jumlah atau mekanisme penyalurannya, melainkan fakta mengejutkan bahwa sebagian penerima justru menyalahgunakan dana tersebut untuk aktivitas ilegal, termasuk judi online (judol). Temuan ini menyorot kelemahan sistem verifikasi dan validasi data yang digunakan selama ini.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa lebih dari 10 juta rekening penerima bansos dibekukan karena ditemukan indikasi penyalahgunaan. Angka ini sangat signifikan, terlebih total saldo dari rekening-rekening tersebut mencapai lebih dari Rp2 triliun.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyampaikan bahwa sebagian dari rekening-rekening tersebut bahkan telah tidak aktif selama lebih dari lima tahun, namun tetap menyimpan dana dalam jumlah besar. “Dana bansos dipakai judol,” tegas Ivan. Ia menambahkan, “Ada rekening bansos yang dipergunakan untuk bermain judol.”

PPATK bekerja sama dengan Kementerian Sosial (Kemensos) dalam proses pembekuan tersebut. Kolaborasi ini merupakan langkah awal untuk memastikan bansos benar-benar diterima oleh pihak yang berhak dan digunakan sebagaimana mestinya. Menurut Ivan, tindakan ini menjadi bentuk penguatan pengawasan dan integritas dalam distribusi bantuan.

Lebih jauh lagi, hasil penelusuran data oleh PPATK menemukan adanya 571.410 Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bansos yang ternyata juga tercatat sebagai pemain judi online aktif sepanjang 2024. Jumlah ini setara dengan sekitar 2 persen dari seluruh penerima bantuan sosial.

“Ditemukan 571.410 kesamaan NIK, di mana artinya ada sekitar 2 persen orang dari penerima bansos yang juga pemain judol tahun 2024,” jelas Natsir Kongah, Kepala Biro Humas PPATK. Ia menyebutkan bahwa dari NIK tersebut, tercatat sebanyak 7,5 juta kali transaksi dengan total dana deposit mencapai Rp957 miliar. “Total deposit judol dari 571.410 NIK... mencapai Rp 957 miliar dalam 7,5 juta kali transaksi,” ujarnya.

Fenomena ini memantik perhatian berbagai kalangan, termasuk para ahli dan pengamat ekonomi. Nailul Huda, ekonom dari Liputan6, menekankan perlunya kehati-hatian sebelum melabeli semua penerima bansos sebagai pelaku judi online. “Tentu harus dicek terlebih dahulu apakah memang digunakan untuk bermain judi online, atau digunakan oleh orang lain,” katanya.

Menurutnya, bukan tidak mungkin ada pihak ketiga yang memanfaatkan rekening pasif milik penerima bansos untuk bertransaksi. Namun, ia juga tak menutup mata terhadap kenyataan bahwa sebagian masyarakat melihat bantuan yang diterima sebagai modal instan untuk mengais keuntungan dari jalan pintas seperti judi. “Motif mereka… adalah mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan cepat,” tambahnya.

Dampak dari praktik seperti ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga sosial dan budaya. Anas Urbaningrum, peneliti dari Pusat Kajian Nusantara (PKN), menilai praktik judi online di kalangan penerima bansos justru dapat memperparah lingkaran kemiskinan. “Judol yang menyasar golongan miskin akan melestarikan kemiskinan, kultural dan struktural… menyebabkan uang tersedot ke atas, tetapi juga mengawetkan budaya malas dan berharap pada mimpi,” tulisnya di akun X.

Ia juga mengingatkan bahwa banyak dari pemain judol bermodalkan pinjaman online (pinjol), sehingga risiko utang semakin mengancam. “Apalagi jika judol bermodalkan pinjol, jelas makin mengerikan. Sungguh ini bahaya besar… Judol harus diberantas dengan kebijakan yang tegas dan konsisten,” tegasnya.

Dalam menindaklanjuti temuan tersebut, PPATK menyatakan komitmennya untuk memproses indikasi pelanggaran sesuai hukum. Setiap transaksi yang terbukti digunakan untuk praktik judi online akan ditindaklanjuti melalui proses hukum yang berlaku. Selain itu, Kemensos telah meminta PPATK untuk menyisir ulang data penerima bansos, termasuk identifikasi akun-akun yang tidak sesuai dengan NIK serta yang memiliki data tumpang tindih.

“Setelah (dari Himbara) itu, baru kita ke PPATK. Jadi, proses ini terus dalam rangka perbaikan sasaran ini,” ujar Gus Ipul (Saifullah Yusuf), yang mewakili Kemensos.

Langkah perbaikan ini juga melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Bank Himbara. Fokus mereka saat ini adalah proses verifikasi menyeluruh terhadap data numerik dan nama agar validasi final bisa dilakukan tanpa celah.

Namun, pengamat politik Firman Noor dari Universitas Indonesia mengingatkan agar pembekuan rekening dilakukan dengan transparansi dan sosialisasi memadai. Menurutnya, ada potensi kesalahan sasaran yang justru bisa merugikan warga miskin yang berhak atas bantuan. “Banyak warga miskin yang mungkin terdampak karena datanya tumpang tindih. Pemerintah harus segera menjelaskan secara terbuka siapa yang dibekukan dan bagaimana proses verifikasinya,” ujarnya.

Kekhawatiran itu valid mengingat kebijakan pembekuan ini menyentuh angka sangat besar dan mencakup jutaan penerima bantuan. Tanpa kejelasan, upaya baik ini justru bisa menimbulkan keresahan sosial baru di masyarakat.

Kesimpulannya, pembekuan 10 juta rekening oleh PPATK menjadi momentum penting dalam membenahi sistem penyaluran bansos. Data yang ada memperlihatkan lebih dari setengah juta identitas penerima yang aktif berjudi secara daring. Namun demikian, penyelesaian jangka panjang tetap memerlukan verifikasi personal, sanksi tegas, serta pembenahan sistem data kependudukan dan distribusi bantuan secara menyeluruh.

Yang lebih krusial, upaya ini sebaiknya juga disertai dengan edukasi publik mengenai pentingnya penggunaan bantuan sesuai tujuan, serta pencegahan terhadap maraknya praktik ilegal seperti judi online yang justru memperburuk kondisi sosial-ekonomi rakyat kecil.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index