JAKARTA - Pemerintah Jepang memperlihatkan keseriusannya dalam merespons isu keberadaan warga negara asing (WNA) yang kini menjadi sorotan menjelang pemilu. Perdana Menteri Shigeru Ishiba berencana mendirikan pusat komando baru di Sekretariat Kabinet untuk menangani dinamika dan tantangan yang melibatkan penduduk asing di negeri sakura tersebut. Langkah ini akan mulai berjalan awal pekan depan dan dinyatakan langsung oleh Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi dalam konferensi pers rutin.
Menurut Hayashi, membangun masyarakat tertib yang juga melibatkan penduduk asing merupakan prioritas kebijakan penting yang tidak bisa diabaikan. Dalam suasana kampanye menjelang pemilihan anggota majelis tinggi parlemen Jepang pada 20 Juli, isu tentang penduduk asing menjadi salah satu pokok pembahasan utama. Beberapa partai kecil bahkan menyuarakan desakan untuk memperketat aturan terkait keberadaan WNA guna melindungi hak-hak warga negara Jepang.
Rencana pembentukan pusat komando ini diyakini sebagai bentuk kesungguhan pemerintah menjawab isu-isu yang menimbulkan kontroversi terkait penduduk asing. Salah satunya menyangkut tudingan penyalahgunaan sistem kesejahteraan nasional oleh sejumlah WNA. Pendekatan ini diharapkan dapat memperkuat dukungan publik menjelang pemilu legislatif penting tersebut.
Per akhir 2024, jumlah WNA yang tinggal di Jepang telah mencapai rekor tertinggi sebanyak 3,76 juta orang. Sebagian besar dari mereka tinggal lebih dari tiga bulan dan diwajibkan untuk mengikuti program Asuransi Kesehatan Nasional, terutama bagi mereka yang tidak tercakup dalam sistem asuransi kesehatan publik lainnya seperti pekerja kantoran.
Namun demikian, sebuah survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pembayaran premi dari kalangan WNA masih tergolong rendah. Di 150 kotamadya, tingkat pembayaran premi oleh warga asing hanya mencapai rata-rata 63 persen. Hal ini jauh tertinggal dibandingkan rata-rata keseluruhan sebesar 93 persen yang mencakup warga negara Jepang.
Pada tahun fiskal 2023, warga asing menyumbang sekitar 4 persen dari total 23,78 juta peserta asuransi nasional. Meski jumlah tersebut relatif kecil, perdebatan tentang kontribusi dan dampak warga asing terhadap sistem kesejahteraan sosial dan ekonomi Jepang tetap terus bergulir.
Tak hanya soal asuransi, topik kehadiran penduduk asing juga diseret ke dalam narasi kampanye yang bersifat nasionalistik oleh sebagian partai oposisi konservatif kecil. Beberapa dari mereka menyampaikan pernyataan yang menuding WNA sebagai penyebab gangguan budaya hingga potensi kriminalitas, bahkan menggunakan ujaran kebencian secara terbuka. Sikap ini jelas memunculkan kekhawatiran tentang meningkatnya xenofobia di Jepang.
Menteri Kehakiman Keisuke Suzuki turut menanggapi isu ini dengan menegaskan pentingnya koeksistensi tertib antara warga Jepang dan warga asing. "Tidak boleh ada xenofobia," tegasnya. Suzuki juga menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan tindakan tegas terhadap warga asing yang tidak menaati aturan hukum Jepang, termasuk opsi deportasi bagi yang melanggar.
Pemerintah juga menjelaskan bahwa setiap penduduk asing harus mematuhi hukum dan peraturan setempat serta hanya melakukan aktivitas yang sesuai dengan status kependudukannya. Hal ini menjadi salah satu syarat utama keberadaan WNA di Jepang agar tetap berjalan sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Namun demikian, pernyataan kontroversial terus bermunculan dari sejumlah tokoh politik. Naoki Hyakuta, mantan novelis sekaligus pemimpin Partai Konservatif Jepang, sempat membuat pernyataan keras bahwa pekerja asing tidak menghormati budaya Jepang, sering melanggar aturan, bahkan menyerang dan mencuri dari warga lokal. Ungkapan ini memicu perdebatan tajam, terutama di media sosial.
Meski persepsi negatif terhadap warga asing kerap dilontarkan, data faktual dari kepolisian Jepang justru menunjukkan bahwa jumlah insiden yang melibatkan WNA mengalami penurunan hingga tahun 2022, dan hanya sedikit peningkatan pada 2023. Persentase penduduk asing yang terlibat dalam insiden juga tetap stabil di sekitar angka 2 persen selama satu dekade terakhir.
Sementara itu, partai oposisi kecil lain seperti Sanseito juga menumpang isu ini dalam kampanye mereka. Dengan slogan "Japanese First", mereka mengusung pandangan nasionalis dan anti-globalisasi. Pemimpin partai Sohei Kamiya bahkan menyatakan bahwa globalisasi adalah penyebab utama kemiskinan di Jepang, dan menyebut bahwa warga asing membeli lahan serta saham perusahaan dalam jumlah berlebihan, yang turut menyumbang pada masalah tenaga kerja.
Sanseito dan Partai Konservatif Jepang memang bukan partai besar, namun berhasil memenangkan masing-masing tiga kursi dalam pemilu majelis rendah tahun lalu. Kemunculan mereka dengan suara-suara populis menjadi warna baru dalam dinamika politik Jepang yang biasanya lebih tenang dan terstruktur.
Di sisi lain, para pengamat mengingatkan bahwa sentimen negatif terhadap warga asing bisa menjadi bumerang. Hiroshi Shiratori, profesor ilmu politik dari Universitas Hosei, menilai bahwa tekanan ekonomi terhadap rakyat membuat mereka mencari kambing hitam, dan penduduk asing sering menjadi sasaran empuk.
“Daripada fokus pada pelemahan yen atau masalah struktural lainnya dalam ekonomi, menyalahkan orang asing atas kemiskinan di Jepang adalah langkah gegabah yang justru dapat memperuncing diskriminasi,” jelas Shiratori.
Dengan segala dinamika ini, langkah pemerintah mendirikan pusat komando khusus untuk menangani isu WNA bisa menjadi titik awal penting untuk menata ulang pendekatan kebijakan secara menyeluruh dan meredam suara-suara ekstrem yang berpotensi memecah belah masyarakat. Jepang tengah berada di persimpangan penting: antara membuka diri untuk keberagaman dan menutup diri demi politik identitas.