JAKARTA — Dua hari pasca banjir menerjang wilayah Lingkungan Majeluk, Kota Mataram, warga terdampak masih berjibaku dengan kondisi rumah yang porak-poranda dan akses kebutuhan pokok yang terbatas. Di tengah lumpur dan puing-puing yang belum tersentuh pembersihan, kebutuhan akan sembako, pakaian, serta obat-obatan menjadi desakan utama.
Kehadiran relawan yang sempat membawa bantuan nasi bungkus, air minum, dan mi instan belum mampu menjawab keseluruhan kebutuhan warga. Salah satu warga RT 4, Lingkungan Majeluk, menyampaikan bahwa kondisi yang mereka hadapi saat ini lebih dari sekadar kehilangan harta benda melainkan juga krisis pangan harian yang belum terpenuhi.
“Selain pakaian, makanan. Kan tetap makanan tiga kali sehari. Kompor sudah habis semua. Mau beli tidak ada uang,” ujarnya, menggambarkan betapa beratnya kehidupan pasca-bencana yang tak hanya merusak harta, tapi juga mengguncang kestabilan hidup harian.
Di lokasi yang sama, Pemprov NTB sudah sempat melakukan pendataan terkait jumlah warga terdampak serta kerusakan fisik pada rumah warga. Namun, hingga kini, warga mengaku belum menerima bantuan langsung dari pemerintah, selain kunjungan pendataan tersebut.
“Sudah kemarin dari Pemprov, tapi belum ada yang memberi bantuan. Datang ngelihat-lihat. Lokasi-lokasi itu didata. Kalau Dinsos juga ada yang datang,” tambahnya.
Kondisi lapangan juga memperlihatkan betapa lambatnya pemulihan pasca-banjir. Lumpur masih menutupi sebagian besar lantai rumah warga, dan tumpukan sampah sisa banjir tampak berserakan tanpa ada penanganan. Sekitar 30 warga terpaksa mengungsi di musala setempat karena rumah mereka rusak berat dan belum layak huni.
Di tengah suasana darurat itu, Yeni, seorang ibu muda, terlihat bolak-balik antara musala pengungsian dan rumahnya. Di pelukannya, seorang anak balita yang menjadi prioritas utama dalam situasi sulit tersebut.
“Kalau kita sih pakaian yang layak dipakai. Sama untuk balita, susu dan pampers. Tapi kita mau beli juga tidak ada. Uang juga hanyut,” katanya sembari menggendong anaknya yang tampak belum mengerti situasi genting yang mereka alami.
Kerugian akibat banjir bukan hanya tentang kerusakan rumah atau hilangnya akses jalan. Banyak warga kehilangan harta benda penting, termasuk barang-barang rumah tangga yang menjadi kebutuhan dasar sehari-hari. Yeni pun menunjukkan kerusakan parah yang dialami barang-barang miliknya, mulai dari kulkas, mesin cuci, hingga perlengkapan dapur lainnya.
“Kompor semua tidak ada. Baju cuma berapa biji yang tersisa. Ini kasur sudah tidak bisa dipakai. Ini kulkas rusak, mesin cuci. Ini tidak bisa dipakai peralatan dapurnya, piring semua sudah habis semua. kalau dihitung-hitung puluhan juta,” ucapnya pasrah.
Sementara itu, warga lain bernama Ari menyoroti aspek penting yang belum tersentuh pemerintah: keselamatan lingkungan pasca-rusaknya infrastruktur. Ia menyoroti sisa reruntuhan jembatan yang belum dibersihkan dari aliran sungai, yang menurutnya bisa memperparah bencana jika hujan turun kembali.
“Pasti. 90 persen naik airnya itu kalau hujan lagi. Soalnya betonnya itu belum diangkat itu,” tegasnya, seraya menyampaikan bahwa kondisi tersebut sangat berisiko bagi warga sekitar.
Ia menilai penanganan ini tidak bisa dilakukan warga secara mandiri, mengingat reruntuhan jembatan berupa beton besar hanya bisa diangkat menggunakan alat berat. Namun, kondisi jalan yang sempit di lingkungan tersebut membuat pengoperasian alat berat tidak memungkinkan. Sampai saat ini, warga belum melihat upaya nyata dari pemerintah daerah untuk menanggulangi persoalan tersebut.
“Belum ada solusi. Soalnya ini belum ada yang datang ini dari Gubernuran dari Wali Kota belum ada yang datang,” pungkas Ari.
Kisah warga Lingkungan Majeluk ini mencerminkan wajah nyata dari dampak bencana banjir yang lebih dari sekadar genangan air. Dalam dua hari terakhir, mereka tak hanya menghadapi lumpur dan reruntuhan, tapi juga kesenjangan logistik dan minimnya respons darurat. Kebutuhan sembako menjadi penanda betapa krusialnya intervensi cepat agar warga tak terjebak dalam lingkaran bencana yang berlarut-larut.
Sementara itu, warga terus berpegangan pada harapan bahwa pemerintah tidak hanya hadir dalam bentuk pendataan, tetapi juga tindakan konkret dalam pemulihan. Terutama dalam hal penyediaan kebutuhan pokok, pemulihan infrastruktur, dan dukungan psikososial yang dibutuhkan oleh warga terdampak, khususnya anak-anak dan lansia yang berada dalam pengungsian.
Tanpa langkah sigap, kondisi warga di pengungsian akan semakin rentan terhadap ancaman kesehatan dan krisis kemanusiaan. Musibah banjir ini seharusnya menjadi pengingat bahwa ketahanan bencana bukan hanya soal reaksi saat kejadian, melainkan juga kesigapan dalam pemulihan pasca-bencana.