Sri Mulyani

Sri Mulyani Dorong SBN Jadi Investasi Aman

Sri Mulyani Dorong SBN Jadi Investasi Aman
Sri Mulyani Dorong SBN Jadi Investasi Aman

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mendorong perubahan cara pandang terhadap Surat Berharga Negara (SBN), dari yang semula sering dianggap sebagai beban, menjadi instrumen investasi yang aman dan menguntungkan. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-24 Masa Persidangan IV, Selasa, 15 Juli 2025 saat merespons sejumlah masukan dari fraksi-fraksi terkait pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2024.

Dalam pernyataannya, Sri Mulyani menekankan bahwa SBN selama ini telah menjadi pilihan investasi berbagai lembaga, mulai dari dana pensiun, perusahaan asuransi, institusi perbankan, hingga masyarakat luas. Bagi mereka, SBN bukanlah utang semata, melainkan sarana investasi yang aman dan dapat diandalkan. “Namun mari kita lihat dari sisi demand atau permintaan lembaga-lembaga baik itu pensiun, asuransi, perbankan bahkan masyarakat kecil telah memegang surat penghargaan negara kita, mereka menggunakan instrumen investasi yang aman,” jelas Sri Mulyani.

Pernyataan itu disampaikan sebagai respons atas sorotan Fraksi PKB dan Nasdem dalam rapat sebelumnya, yang menekankan pentingnya kehati-hatian dalam pengelolaan SBN. Menurut Sri Mulyani, penting untuk melakukan edukasi publik agar masyarakat dan legislatif lebih memahami peran SBN dalam perekonomian nasional.

Sri Mulyani juga menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen menjaga profil utang negara secara terukur dan berhati-hati. Pengelolaan risiko seperti fluktuasi suku bunga, nilai tukar, dan pembiayaan ulang terus dimonitor untuk memastikan utang tetap dalam batas aman. “Mengenai kesehatan utang, kami terus akan waspadai risiko suku bunga utang, risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan ulang atau refinancing terus kami monitor dan tetap berada pada batas aman, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah,” tegasnya.

Di sisi lain, Sri Mulyani juga mendorong peningkatan pendalaman pasar keuangan domestik. Ia menilai kolaborasi dengan otoritas moneter, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pelaku industri keuangan menjadi kunci agar pasar obligasi dan pasar uang di Indonesia semakin kuat dan berkembang. “Berarti kita harus bekerja dengan otoritas moneter, OJK dan industri keuangan,” imbuhnya.

Sejumlah fraksi sebelumnya memang memberikan catatan khusus mengenai posisi utang pemerintah. Fraksi PKS, misalnya, melalui perwakilannya Abdul Fikri, mencermati peningkatan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang diperkirakan mencapai 39,81 persen, naik dari 39,21 persen pada tahun sebelumnya.

Selain itu, Abdul juga menyoroti kenaikan signifikan dalam posisi utang SBN jangka pendek hingga mencapai pertumbuhan tahunan (year on year) sebesar 98,71 persen. Menurutnya, kondisi ini berpotensi menambah beban APBN dalam pembayaran utang pada tahun anggaran berikutnya. “Di dalamnya termasuk kenaikan posisi utang SBN jangka pendek hingga mencapai 98,71 persen year on year. Ini berpotensi meningkatkan beban APBN untuk pembayaran utang tahun 2025,” katanya.

Catatan lain datang dari Fraksi PKS terkait beban pembayaran bunga utang. Disebutkan bahwa jumlah pembayaran bunga meningkat sebesar 11,04 persen dari Rp 439,88 triliun menjadi Rp 488,43 triliun.

Fraksi Demokrat pun turut memberikan perhatian terhadap struktur belanja negara. Anggota Fraksi Demokrat, Lokot Nasution, menyoroti realisasi belanja tahun 2024 yang mencapai Rp 3.350,3 triliun, di mana sebagian besar diarahkan untuk belanja rutin dan pembayaran bunga utang.

Menurut Lokot, arah belanja seperti ini belum mencerminkan dorongan yang optimal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Ia berharap alokasi belanja ke depan lebih difokuskan untuk memperkuat produktivitas nasional dan memberikan efek berganda (multiplier effect) terhadap ekonomi. “Struktur belanja yang masih didominasi, belanja rutin dan pembayaran bunga utang belum menunjukkan arah yang optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” ujar Lokot. “Kami mendorong agar pemerintah memastikan setiap belanja diarahkan untuk memperkuat produktivitas nasional dan memperbesar multiplier effect terhadap perekonomian,” lanjutnya.

Menjawab kekhawatiran tersebut, Kementerian Keuangan telah menargetkan rasio utang pemerintah pada tahun 2026 agar tetap terjaga dalam kisaran aman, yakni antara 39,66 persen hingga 39,73 persen terhadap PDB. Target tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian fiskal dan menjaga kredibilitas pengelolaan keuangan negara.

Selain itu, indikator imbal hasil atau yield dari SBN juga ditargetkan berada di kisaran 6,6 persen hingga 7,2 persen di tahun 2026. Hal ini menjadi bagian dari upaya untuk tetap menarik minat investor terhadap instrumen keuangan negara, sekaligus menjaga keberlanjutan fiskal.

Dengan penyampaian yang komprehensif, Sri Mulyani menunjukkan bahwa kebijakan fiskal tidak hanya soal pengeluaran dan utang, tetapi juga tentang menciptakan stabilitas, kepercayaan pasar, dan ruang investasi yang aman untuk berbagai kalangan masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index