JAKARTA - PT Timah Tbk (TINS) tengah memasuki babak baru dalam peta industri mineral nasional setelah menerima pelimpahan aset rampasan negara berupa enam smelter timah dari pemerintah melalui Kejaksaan Agung.
Langkah ini bukan hanya simbol pemulihan aset negara, tetapi juga membuka peluang besar bagi TINS untuk memperkuat kapasitas produksi dan mengoptimalkan rantai nilai komoditas timah di dalam negeri.
Enam smelter tersebut sebelumnya merupakan fasilitas pengolahan timah ilegal yang beroperasi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) TINS di Kepulauan Bangka Belitung.
Setelah melalui proses hukum, pemerintah memutuskan untuk menyerahkan aset-aset tersebut kepada TINS sebagai bentuk pengelolaan berkelanjutan oleh pihak yang berwenang dan memiliki legalitas tambang resmi.
Nilai dari aset sitaan tersebut diperkirakan mencapai Rp 6 triliun hingga Rp 7 triliun, belum termasuk kandungan tanah jarang (rare earth) atau monasit yang turut ditemukan di area tambang.
Nilai monasit sendiri dilaporkan dapat mencapai US$ 200.000 per ton, menjadikannya potensi tambahan yang signifikan bagi industri strategis berbasis logam tanah jarang di Indonesia.
Timah Fokus Inventarisasi dan Kajian Regulasi
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko TINS, Fina Eliani, menyampaikan bahwa perusahaan masih menunggu proses administrasi pelimpahan aset agar sesuai dengan ketentuan hukum dan regulasi yang berlaku.
Menurutnya, Timah saat ini tengah menyusun mekanisme internal serta melakukan inventarisasi detail terhadap seluruh aset yang akan diterima.
“Kami perlu menyusun mekanisme atas aset-aset tersebut, sehingga belum bisa menyampaikan potensi kontribusinya bagi perusahaan pada 2026,” ujar Fina dalam paparan publik insidental.
Langkah ini menunjukkan kehati-hatian TINS dalam memastikan bahwa proses integrasi aset tidak hanya patuh hukum, tetapi juga efisien secara operasional. Perusahaan di bawah naungan Holding BUMN Pertambangan MIND ID ini berkomitmen untuk menilai kelayakan dan produktivitas masing-masing smelter sebelum dioperasikan kembali.
Dorongan terhadap Kapasitas Produksi Nasional
Jika seluruh aset rampasan tersebut berhasil diintegrasikan, dampaknya terhadap kapasitas peleburan dan produksi logam timah nasional akan cukup besar.
Dalam jangka menengah, fasilitas baru ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi rantai pasok dan memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu produsen timah utama dunia.
Secara operasional, TINS saat ini menargetkan peningkatan kinerja pada 2026 melalui kerja sama strategis bersama MIND ID dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Fina menjelaskan bahwa perusahaan tengah menyiapkan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) baru yang menyesuaikan potensi tambahan kapasitas dari aset sitaan tersebut.
“Kami sedang menyusun rencana kerja tahun 2026 dengan target produksi bijih timah dan logam timah yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, angkanya masih dalam proses pembahasan,” ungkapnya.
Dalam RKAP 2025, TINS menargetkan produksi bijih timah sebesar 21.500 ton Sn, serta produksi logam timah 21.545 metrik ton, dengan target volume penjualan 19.065 metrik ton. Penambahan enam smelter tersebut dinilai bisa menjadi katalis untuk melampaui target tersebut di tahun berikutnya.
Tantangan: Reaktivasi dan Investasi Tambahan
Meski pelimpahan aset dinilai positif, TINS juga menghadapi tantangan teknis dan finansial dalam proses reaktivasi.
Sebagian besar smelter hasil sitaan telah lama tidak beroperasi, sehingga membutuhkan investasi tambahan untuk perawatan, peningkatan teknologi, dan sertifikasi ulang sebelum digunakan secara komersial.
Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, menilai langkah pemerintah menyerahkan smelter kepada TINS sebagai sinyal dukungan terhadap tata kelola industri timah yang lebih transparan dan efisien.
Namun, ia mengingatkan bahwa dampak finansial positifnya tidak akan langsung terasa dalam waktu dekat.
“Pelimpahan aset berupa smelter memang menjadi katalis positif bagi TINS dalam jangka menengah. Kapasitas pengolahan bisa meningkat jika integrasi dilakukan dengan tepat, tapi perusahaan tetap perlu investasi tambahan untuk reaktivasi dan pemeliharaan,” jelas Wafi.
Ia memperkirakan kontribusi signifikan dari smelter tambahan ini baru akan terlihat pada 2026 ke depan, seiring rampungnya proses adaptasi operasional dan penyesuaian sistem produksi.
Prospek Jangka Menengah dan Sentimen Pasar
Dari sisi pasar modal, pelimpahan aset ini disambut positif oleh investor karena berpotensi memperkuat fundamental TINS di masa depan.
Menurut Wafi, jika strategi integrasi berhasil dijalankan, TINS dapat meningkatkan margin keuntungan melalui skala produksi yang lebih besar dan efisiensi biaya peleburan.
Namun, ia juga mengingatkan pentingnya pengelolaan risiko dan pengawasan ketat dari pemerintah agar proses pemanfaatan aset negara ini berjalan transparan. Dalam rekomendasinya, Wafi menyarankan status hold untuk saham TINS, dengan target harga di kisaran Rp 3.000 per saham.
“Dampak positifnya tidak instan, tapi potensinya besar untuk 2026 dan seterusnya,” tambahnya.
Momentum Reposisi Strategis
Pelimpahan enam smelter sitaan negara ini tidak hanya memperkuat posisi operasional TINS, tetapi juga menjadi momentum penting untuk reposisi strategis industri timah nasional.
Dengan pengelolaan yang baik, aset tersebut bisa mengubah wajah industri peleburan dalam negeri — dari praktik ilegal menuju sistem produksi yang berkelanjutan, transparan, dan bernilai tambah tinggi.
Langkah pemerintah ini sekaligus menegaskan upaya reformasi tata kelola sumber daya mineral, di mana aset hasil kejahatan pertambangan dikembalikan untuk kepentingan ekonomi nasional.
Bagi TINS, tantangannya kini bukan hanya menjaga keberlanjutan produksi, tetapi juga membuktikan bahwa perusahaan pelat merah ini mampu mengubah aset sitaan menjadi motor pertumbuhan industri logam nasional yang lebih bersih dan berdaya saing global.