Telekomunikasi

Lelang Frekuensi 1,4 GHz Ubah Arah Kompetisi Industri Telekomunikasi Nasional

Lelang Frekuensi 1,4 GHz Ubah Arah Kompetisi Industri Telekomunikasi Nasional
Lelang Frekuensi 1,4 GHz Ubah Arah Kompetisi Industri Telekomunikasi Nasional

JAKARTA - Lelang pita frekuensi 1,4 GHz untuk layanan Broadband Wireless Access (BWA) resmi tuntas pada Rabu (15 Oktober 2025) dan hasilnya langsung mengguncang industri telekomunikasi nasional.

 Proses lelang yang berlangsung sejak 13 Oktober 2025 itu melahirkan dua pemenang utama yang tidak berasal dari raksasa lama seperti Telkom Indonesia, melainkan PT Telemedia Komunikasi Pratama (anak usaha PT Solusi Sinergi Digital Tbk/WIFI) dan PT Eka Mas Republik (MyRepublic) dari Grup Sinarmas.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dalam surat pengumumannya menyebut, WIFI menempati peringkat pertama untuk Regional I (Jawa, Papua, Maluku) dengan nilai penawaran Rp403,76 miliar. 

Sementara MyRepublic memimpin di Regional II (Sumatera, Bali, Nusa Tenggara) dengan tawaran Rp300,88 miliar, dan juga menjadi pemenang di Regional III (Kalimantan, Sulawesi) senilai Rp100,88 miliar.

Hasil Mengejutkan: Telkom Gagal di Semua Regional

Kemenangan dua perusahaan ini menjadi sorotan besar karena PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), pemain dominan di sektor internet tetap (fixed broadband), tidak memenangkan satu pun wilayah.

Direktur Eksekutif Indonesia ITC Institute, Heru Sutadi, menyebut hasil ini sangat mengejutkan sekaligus berpotensi mengubah lanskap bisnis telekomunikasi Indonesia.
“Ini bisa mengubah peta industri telekomunikasi Indonesia karena membuka peluang kompetisi lebih sehat di luar pemain besar seperti Telkom,” ujarnya.

Menurut Heru, meskipun peluang ini menjanjikan, tantangan finansial yang dihadapi para pemenang juga besar. “WIFI dan MyRepublic harus mengeluarkan biaya lelang ratusan miliar per regional ditambah belanja modal (capex) untuk membangun infrastruktur,” jelasnya.

Frekuensi 1,4 GHz: Peluang Baru Internet Cepat Murah

Spektrum 1,4 GHz yang baru saja dilelang ditujukan untuk mendukung layanan BWA dengan kecepatan minimal 100 Mbps, ditawarkan dengan harga terjangkau sekitar Rp50.000–Rp100.000 per bulan.

Heru menilai, secara bisnis model ini masih mungkin dilakukan jika perusahaan mampu mengelola biaya secara efisien.
“Untuk menutup biaya mungkin bisa, kalau kedua perusahaan itu efisien, membuat skala pelanggan massal, dan berkolaborasi dengan penyedia internet lainnya,” ujarnya.

Namun ia mengingatkan risiko rendahnya permintaan di luar kota besar. “Kalau permintaan rendah di luar kota besar, mereka harus fokus pada volume tinggi dan layanan tambahan seperti paket TV atau enterprise agar tetap untung,” imbuh Heru.

Ancaman Perang Harga di Pasar Fixed Broadband

Heru juga memperingatkan, masuknya pemain baru dengan spektrum baru berpotensi memicu perang harga di industri internet tetap nasional.

“Sudah ada tanda-tanda sekarang, di mana industri internet Indonesia sedang panas. Sekitar 60% perusahaan penyedia internet berebut pasar sama, membuat harga semakin liar dan agresif untuk merebut pelanggan,” jelasnya.

Menurutnya, kondisi itu bisa semakin intensif pada 2025–2026 ketika infrastruktur hasil lelang mulai beroperasi.
“Persaingan harga akan lebih insentif, tapi sisi positifnya konsumen diuntungkan karena harga turun. Meski begitu, pemerintah harus menjaga agar iklim industri tetap kondusif,” tegas Heru.

Tantangan Infrastruktur: Murah di Jawa, Berat di Luar Jawa

Dosen Teknik Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Joseph, menilai harga layanan Rp100.000 per bulan untuk kecepatan 100 Mbps masih masuk akal, terutama di Pulau Jawa dan kota-kota besar.

“Karena tetap saja perlu kerja sama dengan pemilik backbone optik. Sementara untuk luar Jawa, sangat sulit menyediakan internet murah saat ini,” jelas Ian.

Ia menambahkan, meskipun masyarakat sensitif terhadap harga, faktor utama yang dicari pelanggan adalah ketersediaan, kestabilan, dan kecepatan jaringan. “Harga memang penting, tapi bukan satu-satunya faktor penentu,” ujarnya.

Ian menekankan bahwa keberhasilan pemenang lelang akan tetap bergantung pada kerja sama dengan pemilik jaringan terbesar, yaitu Telkom. “Siapapun pemenangnya, harus kerja sama dengan operator seluler yang sudah memiliki menara, sistem daya, dan perangkat radio agar capex tidak membengkak,” tambahnya.

Pemerataan Akses Jadi Jiwa Lelang

Lebih jauh, Ian menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan pembangunan antara wilayah padat penduduk dan daerah terpencil.

“Jangan hanya fokus pada area yang layak secara bisnis. Jiwa lelang ini adalah pemerataan, memastikan masyarakat di luar kota besar juga bisa menikmati internet murah dan cepat,” ujarnya.

Dengan demikian, implementasi frekuensi 1,4 GHz tidak hanya soal bisnis, tapi juga komitmen memperluas akses digital yang inklusif dan merata di seluruh Indonesia.

Transformasi Baru: Dari Dominasi Menuju Kompetisi Sehat

Keputusan pemerintah melelang frekuensi 1,4 GHz membuka ruang baru bagi kompetisi yang lebih seimbang di industri telekomunikasi. Kehadiran WIFI dan MyRepublic sebagai pemenang menunjukkan bahwa pasar broadband Indonesia kini tidak lagi hanya dikuasai satu pemain besar.

Jika mampu menyeimbangkan efisiensi biaya, inovasi layanan, dan pemerataan akses, lelang ini bisa menjadi titik balik bagi ekosistem internet nasional — dari dominasi menuju kompetisi yang sehat.

Namun, tantangan jangka pendek tetap nyata: perang harga, kebutuhan investasi besar, hingga kerja sama antaroperator. Semua faktor ini akan menentukan sejauh mana peta industri benar-benar berubah dalam dua tahun ke depan.

Sebagaimana dikatakan Heru Sutadi, momentum ini adalah ujian sekaligus peluang. “Bila para pemenang dapat menjaga efisiensi dan berkolaborasi dengan ekosistem telekomunikasi yang ada, maka transformasi digital Indonesia akan melaju lebih cepat, adil, dan kompetitif,” tutupnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index