JAKARTA - Flores dan Lembata di Nusa Tenggara Timur tidak hanya dikenal karena keindahan alam dan kekayaan budayanya, tetapi juga karena kekuatan masyarakat adatnya dalam menjaga ruang hidup. Dalam beberapa tahun terakhir, panas bumi menjadi topik utama yang menyatukan suara dari kampung-kampung: dari Poco Leok hingga Atadei, dari Ulumbu hingga Wae Sano. Di balik isu transisi energi ini, muncul harapan akan keterlibatan yang adil dan partisipatif bagi masyarakat yang terdampak langsung.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) membentuk tim teknis guna melakukan evaluasi proyek panas bumi yang tengah berlangsung di berbagai wilayah. Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, menyerahkan penanganan isu ini kepada tim tersebut agar dapat memberikan gambaran menyeluruh berdasarkan data dan pengamatan lapangan.
Namun, narasi yang muncul dari masyarakat adat menyuarakan sudut pandang berbeda. Mereka menyampaikan bahwa laporan teknis yang menyebut dukungan masyarakat, kondisi lingkungan yang sehat, serta air dan tanah yang tetap baik, belum sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan. Mereka ingin kisah yang mereka alami juga mendapat ruang dan diakui sebagai bagian penting dari proses evaluasi pembangunan.
Masyarakat di Mataloko, misalnya, menyaksikan langsung munculnya uap dan lumpur panas yang menyebar di area perkebunan. Aroma belerang yang menguar menjadi bagian dari keseharian mereka. Anak-anak mengalami gangguan kulit dan warga merasakan dampak kesehatan lainnya. Di Desa Wogo, bunyi mendesis dari tanah menjadi tanda bahwa bumi tengah bergejolak, memunculkan kekhawatiran yang tak terjawab dalam laporan resmi.
Sungai Tiwu Bala di Ladja juga menjadi sorotan. Pipa-pipa besi yang ditanam untuk eksplorasi telah mengubah karakter air—secara warna, bau, dan rasa. Sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan kini menimbulkan kekhawatiran, terutama saat kebutuhan dasar seperti air bersih terancam.
Di Nage, kampung adat yang berada sekitar 1,5 kilometer dari sumur bor turut merasakan perubahan besar. Retakan muncul pada bangunan rumah dan lantai dapur. Suasana malam tak lagi tenang karena suara dari dalam bumi mengusik rasa aman. Masyarakat merindukan jawaban yang jujur dan adil atas perubahan ini.
Situasi serupa juga terjadi di Sokoria. Mata air warga berubah warna dan bau, serta kehilangan ekosistem alaminya. Air bersih menjadi barang langka yang harus dibeli. Sementara itu, janji elektrifikasi belum sepenuhnya terealisasi. “Kami dijanjikan listrik, tapi saat musim hujan, rumah kami tetap gelap,” keluh warga Sokoria.
Selain kerusakan lingkungan, masyarakat juga menyampaikan dampak terhadap perekonomian lokal. Kopi arabika unggulan dari Sokoria mengalami penurunan kualitas. Buah kopi hitam dan rontok sebelum dipanen. Tanaman kakao pun turut terdampak. Bagi petani lokal, ini adalah pukulan besar terhadap sumber penghidupan mereka.
Masyarakat adat menyampaikan bahwa sikap mereka bukanlah penolakan terhadap teknologi, melainkan keberpihakan terhadap keberlangsungan hidup yang berakar dari tanah, air, dan budaya. Seorang perwakilan masyarakat Wae Sano menegaskan, “Kami tak menolak listrik, tapi kami ingin dihormati. Pembangunan harus mendengar dan melibatkan.”
Tanah, bagi warga Flores dan Lembata, adalah lebih dari sekadar ruang fisik. Ia adalah sumber pangan, identitas, dan martabat. Oleh karena itu, setiap proses pembangunan yang melibatkan pengambilan ruang hidup harus dilakukan secara transparan dan menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Masyarakat mencatat bahwa dalam beberapa lokasi, seperti di Atadei dan Ulumbu, mereka tidak mendapatkan informasi lengkap mengenai dampak proyek. Sosialisasi kerap hanya dihadiri oleh tokoh desa atau elite lokal, tanpa pelibatan penuh masyarakat. Akses terhadap dokumen penting seperti AMDAL juga terbatas.
Lebih jauh, warga mengungkapkan bahwa beberapa upaya pendekatan dilakukan melalui janji bantuan, skema kerja, atau program CSR. Namun bagi mereka, partisipasi tidak bisa dibangun dari iming-iming. Mereka berharap pendekatan yang lebih jujur dan terbuka agar suara mereka benar-benar didengar.
Dalam semangat menjaga lingkungan dan warisan budaya, masyarakat adat di berbagai lokasi menyerukan sembilan poin utama, antara lain penghentian proyek yang belum mengantongi persetujuan bebas dan diinformasikan (FPIC), audit lingkungan independen, pemulihan lahan, serta pelibatan penuh perempuan dalam proses pengambilan keputusan.
Mereka juga meminta agar seluruh tindakan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan tanahnya dihentikan, serta agar proses dialog dijalankan secara setara tanpa intimidasi. Ini bukan semata soal infrastruktur atau teknologi, tetapi soal ruang hidup, keamanan, dan keberlanjutan kebudayaan.
“Alam kami adalah kosmos: dari hutan, mata air, kebun, hingga danau. Ia adalah satu kesatuan yang tak bisa dipecah,” ujar warga Wae Sano. Maka, semangat mereka untuk menjaga lingkungan bukanlah karena kebencian, melainkan karena cinta terhadap tanah dan kehidupan.
Di tengah berbagai suara ini, masyarakat adat menunjukkan bahwa mereka bukan penghalang pembangunan. Sebaliknya, mereka adalah mitra penting dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Dalam suara mereka, terdapat pelajaran penting: bahwa energi masa depan juga harus selaras dengan hak-hak dan kehidupan masyarakat yang menjaganya sejak lama.