JAKARTA - Upaya penguatan pengelolaan lingkungan di sektor industri nikel kembali menjadi sorotan. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menaruh perhatian khusus pada peningkatan sistem pengelolaan limbah dan efisiensi kontrol emisi di kawasan industri berbasis nikel, khususnya di wilayah PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang berada di Maluku Utara.
Dalam pemantauan yang dilakukan tim KLH belum lama ini, perhatian diarahkan pada sistem pengelolaan tailing oleh PT Huafei Nickel Cobalt (HNC), salah satu perusahaan tenant utama yang beroperasi di kawasan IWIP. Fokus utama adalah pada tata kelola tailing yang termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), serta operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menjadi pemasok energi bagi seluruh kawasan industri tersebut.
Tim KLH menilai, struktur lokasi penampungan tailing yang berada dekat dengan saluran drainase permukaan memiliki potensi risiko, terutama jika terjadi limpasan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, sejumlah saran teknis pun disampaikan agar pengelolaan limbah B3 dapat ditingkatkan, sekaligus mencegah potensi pencemaran lingkungan di sekitar kawasan.
Deputi Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Rizal Irawan menyatakan bahwa peninjauan teknis harus terus dilakukan secara berkala untuk memastikan seluruh sistem bekerja dengan optimal dan mampu mengantisipasi berbagai dinamika operasional di lapangan. “Kami mendorong agar pengelolaan tailing terus disempurnakan melalui evaluasi teknis berkala. Hal ini penting untuk memastikan bahwa aliran air permukaan dapat terkelola dengan baik sebelum masuk ke lingkungan,” ujar Rizal Irawan.
Diketahui, PT Huafei Nickel Cobalt mengandalkan teknologi hidrometalurgi dalam kegiatan pemrosesan nikel mereka. Teknologi ini menjadi salah satu pendekatan penting dalam pengembangan industri nikel bernilai tambah. Dalam proses tersebut, tailing atau sisa hasil pengolahan dikategorikan sebagai limbah B3, dengan kode B416. Volume tailing yang dihasilkan perusahaan ini tercatat melebihi 3,4 juta ton per tahun, sehingga penanganannya membutuhkan sistem dan kapasitas yang mumpuni.
Menanggapi hal tersebut, KLH memberikan rekomendasi teknis yang mencakup peningkatan kapasitas struktur penampungan tailing, penyesuaian saluran pengendalian limpasan, serta evaluasi efektivitas sistem drainase kawasan. Langkah-langkah ini dinilai akan semakin memperkuat tata kelola lingkungan industri, terutama dalam menjamin keberlanjutan operasional kawasan industri nikel nasional.
Selain fokus pada limbah tailing, tim KLH juga meninjau fasilitas pembangkit listrik tenaga uap yang menjadi sumber pasokan utama energi di kawasan IWIP. Di lokasi PLTU ini, KLH mencermati sistem pemantauan emisi yang telah dilengkapi dengan teknologi Continuous Emission Monitoring System (CEMS). Alat tersebut telah terpasang di cerobong utama sebagai bagian dari komitmen pengawasan emisi secara real-time.
Namun, dalam hasil evaluasinya, KLH menemukan bahwa sistem ruang kendali atau control room di PLTU masih perlu diperkuat, terutama untuk mendukung pengendalian emisi, pemantauan tekanan, serta kesiapan tanggap terhadap dinamika operasional. “Hal ini supaya respon terhadap dinamika operasional dapat dilakukan secara cepat dan terintegrasi,” kata Rizal.
Penguatan fungsi ruang kontrol ini dinilai penting karena menjadi pusat koordinasi seluruh data operasional dan parameter lingkungan, baik dari sisi kualitas udara maupun efisiensi proses energi. KLH mendorong adanya peningkatan integrasi antarsistem dan antarunit, agar setiap perubahan operasional bisa ditanggapi dengan cepat, tepat, dan berbasis data yang akurat.
Kawasan IWIP sendiri telah berkembang menjadi pusat industri strategis dalam rantai pasok global nikel, dengan banyak perusahaan dari dalam dan luar negeri berinvestasi di dalamnya. Seiring dengan peningkatan kapasitas produksi dan ekspor, perhatian terhadap aspek lingkungan menjadi prioritas yang tak terpisahkan dari pembangunan kawasan industri modern.
Dukungan terhadap inisiatif ramah lingkungan di sektor nikel juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong industri hijau. Pengembangan nikel yang berkelanjutan, termasuk dalam bentuk nikel hijau (green nickel), telah menjadi bagian dari strategi hilirisasi nasional, yang bertujuan meningkatkan nilai tambah dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global bahan baku kendaraan listrik.
Langkah-langkah teknis yang direkomendasikan KLH di kawasan IWIP diharapkan mampu menjadi contoh bagi kawasan industri serupa dalam menyeimbangkan antara produktivitas dan kelestarian lingkungan. Evaluasi berkala, penguatan infrastruktur lingkungan, serta pemanfaatan teknologi pengendalian emisi menjadi bagian penting dari transformasi industri yang bertanggung jawab.
Di sisi lain, keterlibatan perusahaan seperti PT HNC yang mengadopsi teknologi hidrometalurgi juga menunjukkan bahwa sektor industri nikel Indonesia terus bergerak ke arah efisiensi dan ramah lingkungan. Teknologi ini memungkinkan pemrosesan nikel dengan pendekatan kimia basah yang relatif lebih efisien, serta mendukung produksi nikel dengan jejak karbon yang lebih rendah.
Dengan komitmen berbagai pihak dalam memperbaiki sistem pengelolaan tailing dan pengawasan lingkungan, nikel Indonesia memiliki potensi besar untuk terus tumbuh secara berkelanjutan. Inisiatif-inisiatif semacam ini memperkuat optimisme bahwa sektor nikel dapat menjadi motor penggerak pembangunan industri nasional yang tetap memperhatikan kelestarian alam.
Langkah konkret yang diambil KLH dan pelaku industri dalam pengawasan, perbaikan teknis, serta integrasi sistem pengendalian lingkungan menjadi sinyal positif bagi masa depan industri nikel. Transformasi ke arah keberlanjutan kini bukan sekadar wacana, melainkan langkah nyata yang terus dikuatkan demi menghadirkan manfaat bagi perekonomian nasional dan lingkungan hidup yang lebih baik.